7.6.09
Press Release Hari Lingkungan Hidup; 94 Kasus Lingkungan Hidup di DIY Terbengkalai
*Dalam* kurun waktu lima tahun terakhir, WALHI mencatat adanya *trend*peningkatan kasus-kasus lingkungan hidup di Yogyakarta. Fenomena ini setidaknya (terus) berlangsung di empat kawasan, yakni kawasan Merapi, Menoreh, Perkotaan, hingga Pesisir Selatan. Lingkupnya, pencemaran (udara, air, tanah), pelanggaran tata ruang, alih fungsi lahan, pratek eksploitasi, hingga pelanggaran hukum lingkungan.
Sekadar menguatkan ingatan, perubahan status fungsi hutan Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang menuai polemik di masyarakat. Kawasan TNGM seluas ± 6.410 Ha dinilai membatasi ruang dan akses masyarakat dari berbagai sisi seperti, ekonomi, sosial maupun ekspresi kulutural. Kasus-kasus serupa menguatkan pentupan akses masyarakat untuk sumber-sumber penghidupan, terlebih masyarakat tidak dilibatkan dalam pemetaan dan upaya pengalihfungsian yang dilakukan pemerintah. Hingga kini masyarakat masih mengeluhkan keberadaan TNGM yang membatasi upaya mereka dalam pencarian sumber penghidupan.
Di kawasan perkotaan, laju industrialisasi yang tak terkontrol berdampak buruk pada tata ruang perkotaan. Tak terkecuali di Kota Yogyakarta. Dinamikanya terus berubah mengikuti “selera” pengambil kebijakan dan investor. Pembangunan GAMA Book Store UGM misalnya, berbagai langkah yang ditempuh termasuk mempertanyakan soal pelanggaran ROI jalan yang dilakukan oleh UGM ternyata tidak mendapat respon positif dari pihak-pihak yang terkait. Daftar panjang pelanggaran AMDAL ini juga terjadi pada kasus-kasus sebelumnya, sebut saja pembangunan Ambarukmo Plaza, Saphire Square,
Jogjatronic. Konsistensi terhadap penegakan hukum lingkungan berkaitan dengan pelanggaran tata ruang pun masih belum ditegakkan. Artinya beberapa proyek yang selama ini ada dan berjalan, tidak pernah peka kondisi wilayahnya. Jika terjadi pelanggaran pun tidak pernah diberikan sanksi secara tegas melainkan hanya tahapan pemakluman.
Kawasan pesisir selatan tak luput dari pengabaian hak-hak rakyat untuk sumber-sumber penghidupan oleh pemerintah. Adanya aktivitas pembangunan infrastruktur yang marak di kawasan ini ternyata tak disertai dengan kajian mengenai karakteristik ekonomi masyarakat sekitar. Implikasi Jalur Lintas Selatan (JLS) terhadap lahan pertanian di wilayah Bantul pun ternyata diabaikan. Dalam catatan WALHI Yogyakarta, akan terjadi pengurangan pekarangan sebesar 27.455 M2, sedangkan untuk pengurangan sawah, tegalan
sebesar 718.131 M2, rumah 72 buah dan luas wilayah sebesar 454.183 M2.
Begitupun implikasi rencana Tambang Pasir Besi terhadap lahan pertanian produktif di pesisir selatan Kulonprogo. Petani yang sudah puluhan tahun di sana terancam eksistensinya bila penambangan pasir besi dilanjutkan dalam skala besar. Implikasi pertambangan pasir besi terhadap ekologi diketahui akan terjadi perubahan bentang alam dan alih fungsi lahan 22 km2 x 1,8 km2 (6,8%)dari total luas Kabupaten Kulonprogo 586.27km2. Selain itu, pertanian dari segi kuantitas dan kualitas terancam (Lahan Pertanian Produktif mencapai 4.434 ha,: sumber, BPS 2005). Selanjutnya, habitat fauna pesisir di Kecamatan Galur yakni burung-burung migran terancam hilang. Ironis, di satu sisi pemerintah Kulonprogo mengembar-gemborkan kawasan tersebut sebagai daerah pertanian produktif lewat website-nya, namun di satu sisi membiarkan nasib lahan tersebut terancam.
Kondisi ini tentu bukanlah keinginan kita yang percaya pada azas manfaat keberlanjutan ekologis. Yogyakarta sendiri yang notabene dikenal dengan kota
pelajar dan kawasan budaya ternyata juga tak mampu menata pembangunan yang mengedepankan kelestarian lingkungan. Berbagai stakeholder yang ada dalam konteks pengambil kebijakan sepertinya acuh tak acuh dengan kondisi ini.
Ajang perayaan hari lingkungan ini seharusnya kita jadikan ajang refleksi bersama untuk mengelola Yogyakarta yang lebih “berhati nyaman”. Salah satu caranya yakni mengajak segenap pihak untuk terus memelihara lingkungan kita sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Atas kesadaran bersama sebagai warga Negara, WALHI mencoba untuk merangkumrekam kasus berbagai kasus-kasus lingkungan hidup yang mencapai 94 kasus (tak satupun
terselesaikan dengan tuntas) selama ini dikeluhkan masyarakat dalam bentuk pengaduan kepada WALHI Yogyakarta maupun respon isu.
Rangkuman rekam kasus lingkungan hidup ini kami serahkan kepada pihak legislatif yakni DPRD Provinsi DIY dan pihak eksekutif yakni Pemerintah Daerah propinsi DIY. Harapan kami, sebagai pengawas dan pemangku kebijakan, kedua lembaga ini kedepannya lebih berperan aktif dalam upaya tata kelola lingkungan hidup yang lebih baik.
Kedepannya, WALHI akan tetap untuk mempertahankan “kebiasaan” ini sebagai mekanisme kontrol terhadap berbagai kebijakan maupun perilaku publik dalam konteks pelestarian lingkungan hidup yang tak mengabaikan hak-hak masyarakat.
*Untuk itu kami, WALHI Yogyakarta :*
1. *Mendesak* Pemerintah menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup yang belum terselesaikan di wilayah Propinsi Yogyakarta.
2. *Mendesak* pemerintah membenahi berbagai kebijakan soal pembangunan yang mengabaikan pelestarian lingkungan di DIY.
3. *Mendesak* pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat lokal khususnya bagi mereka yang terkena dampak langsung pembangunan dalam pengambilan keputusan.
4. *Mendesak* pemerintah untuk tidak mengabaikan hak-hak masyarakat atas nama upaya pelestarian lingkungan.
5. *M**engecam* aksi-aksi pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan mengabaikan hak-hak rakyat dalam kehidupan
6. *M**engajak* berbagai elemen masyarakat untuk ikut serta mengontrol aktivitas dan kebijakan pembangunan di DIY.
7. *M**engajak* masyarakat konsumen untuk berhenti membeli produk-produk yang dihasilkan oleh perusahan perusak lingkungan.
Yogyakarta, 5 Juni 2009
Salam Adil dan Lestari,
*Aksi Mimbar Bebas-Hari Lingkungan Hidup*
Penyerahan Rekam Kasus Lingkungan Hidup ke DPRD dan Pemerintah Daerah
Lokasi Aksi: DPRD Propinsi dan Kepatihan, Jum’at, 5 Juni 2009 | 13.30 – 15.00 Wib
--
Fathur Roziqin FEN
Research and Campign
WALHI Yogyakarta
Jl. Nyi Pembayun No. 14-A
Karang Samalo-Kotagede
Yogyakarta-Indonesia-55172
Telp & Fax: 0274-378631
HP: 0818268001
website: www.walhi-jogja.or.id
e-mail: diy@walhi.or.id | iqin.sasak@gmail.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
---------------------
"Anggaran yang tersedia untuk kegiatan konservasi di kawasan hutan sangat minim yakni hanya 4 dolar AS per hektar. Sangat jauh ketimbang Malaysia 20 dolar AS per hektar.Padahal, konservasi harimau dan satwa dilindungi lainnya butuh dana besar. Idealnya 18 dolar AS per hektar bisa tersedia untuk kegiatan konservasi di 26 juta hektar kawasan hutan lindung dan konservasi.Karena dana minim itu, pemerintah ajak swasta untuk sisihkan dana CSR-nya untuk kegiatan konservasi itu. Apalagi total dana CSR perusahaan di Indonesia sampai Rp20 triliun, kalau Rp1 triliun saja untuk konservasi itu sangat membantu," papar Darori, Dirjen PHKA Kemenhut, usai Lokakarya Penggalangan Sumberdaya untuk Pelaksana Rencana Nasional Pemulihan Harimau Sumatera, pada Selasa, 17 Januari 2012.
-----------------------------------------
Photo : "Wild Sumatran tiger" by Michael Lowe, 2006, Wikimedia Commons.
--------------
-------
-----------------------------------------
Photo : "Wild Sumatran tiger" by Michael Lowe, 2006, Wikimedia Commons.
--------------
-------
No comments:
Post a Comment